Menunda
kesenangan saat kuliah demi membuka usaha adalah kunci keberhasilan sang
pemilik Kedai Digital saat memulai usahanya dibidang merchandise.
Jeli dalam melihat peluang bisnis yang besar juga menjadi inspirasi tersendiri dari seorang Saptuari Sugiharto. Kedai Digital yang dimilikinya kini telah “merajai” dunia usaha, serta produknya terlihat sudah tidak asing lagi, khususnya di wilayah Jawa.
Jeli dalam melihat peluang bisnis yang besar juga menjadi inspirasi tersendiri dari seorang Saptuari Sugiharto. Kedai Digital yang dimilikinya kini telah “merajai” dunia usaha, serta produknya terlihat sudah tidak asing lagi, khususnya di wilayah Jawa.
Pria yang biasa
disapa Saptu ini merupakan finalis Wirausaha Muda Mandiri 2007. Saat
ini, dirinya sudah mempunyai 61 cabang Kedai Digital di 30 kota yang
tersebar di Indonesia. Kedai Digital pun mempunyai konsep menghadirkan
merchandise pribadi.
Mengapa
akhirnya lahir Kedai Digital? Mulanya Saptu terpikir untuk membuka
usahanya ketika dia melihat sebuah konser musik di Yogya. Kala itu,
dirinya melihat orang-orang berebut kaos band Dewa.
“Saya pikir kok
gara-gara kaos Dewa, orang sampai berantem berebutan seperti itu.
Gara-gara merchandise artis. Dari situ aku berpikir merchandise itu
untuk dijadikan lahan usaha,” ujarnya saat di temui Okezone.
Saptu yang
lahir di Yogyakarta 8 September 1979 mengaku mulai berbisnis sejak duduk
di bangku kuliah semester pertama Universitas Gadjah Mada (UGM) pada
1998. Ketika itu dirinya menjadi penjaga tas di kios UGM dengan gaji
sebesar Rp20 ribu seminggu.
Saat ini, dia
sedang mulai merambah untuk memproduksi kaos Yogya istimewa atau yang
disebut dengan Jogist. Tahap penggarapan pun mulai berlangsung, dengan
proses yang dimulai sejak 2011 lalu melalui penjulan online. Produk yang
ditampilkannya, sebesar 30 persen bertema Yogya dan 70 persen bertema
umum.
Selama kurun
waktu tujuh tahun usahanya berjalan, sejak awal pertama kali membuka
usaha pada 2005, dia nekat membuka cabang lagi pada 2006. Namun rencana
tinggal rencana, bencana gempa di Yogya menjadi salah satu alasan tidak
jadi dibuka. Namun, dirinya tidak menyerah.
“Saya enggak nyerah, waktu usaha saya terimbas gempa, saya coba lagi. Pada 2007 saya mengajak beberapa karyawan untuk mengajak menaruh saham di Kedai Digital, dari kerjasama itu menghasilkan lima cabang di Yogya,” katanya.
“Saya enggak nyerah, waktu usaha saya terimbas gempa, saya coba lagi. Pada 2007 saya mengajak beberapa karyawan untuk mengajak menaruh saham di Kedai Digital, dari kerjasama itu menghasilkan lima cabang di Yogya,” katanya.
Bertempat di
atas lahan seluas 2×7 meter yang merupakan bekas gudang becak. Dia pun
menyulapnya menjadi kantor pusat. Sekarang, Saptu sudah memproduksi 60
produk merchandise.
“Dari yang tadinya hanya di sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur kini sudah merambah mulai Sabang sampai Marauke, dari Banda Aceh, hingga Jayapura. Serta akan segera opening sehingga jika ditotal sekira 37 kota,” tuturnya.
“Dari yang tadinya hanya di sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur kini sudah merambah mulai Sabang sampai Marauke, dari Banda Aceh, hingga Jayapura. Serta akan segera opening sehingga jika ditotal sekira 37 kota,” tuturnya.
Dia
menyebutkan, untuk yang benar-benar milik sendiri dan saham sendiri ada
10 kedai di seluruh cabang. Selebihnya, sebagian sahamnya dimiliki juga
oleh mitra-mitranya. Saat ditanyakan soal omzet secara nasional, dia
menyebutkan hampir sekira Rp800 juta sampai Rp1,2 miliar untuk
keseluruhan cabang.
Saptu pun
memasarkan merchandise-nya untuk personal sebesar 40 persen, serta untuk
perusahaan sebesar 60 persen. Adapun untuk kebutuhan personal biasanya
digunakan untuk selamatan, ulang tahun, dengan harga yang beragam.
Ekspansi Usaha
Saat ini,
Saptuari tengah mengembangkan usaha kaos Jogist-nya. Dia pun sudah
berhasil menjual 700 kaos Jogist dalam jangka waktu sebulan hanya dari
satu kios baru miliknya. “Target saya sebulan 1.000 kaos. Per buah Rp75
ribu sampai Rp80 ribu,” singkatnya.
Dia mengakui,
di kantor pusat Kedai Digital dan Jogist yang terletak di daerah Utara
UGM dahulu omzetnya hanya sekira Rp20 juta per kedai. Namun, saat ini
bisa mencapai Rp80 juta per kedai. Adapun, kendala yang dialaminya yakni
untuk pengadaan bahan baku, karena tergantung dari bahan baku lokal
yang masih terbatas. Dia pun memberikan tips bagi yang ingin membuka
usaha, yakni tetap harus fokus pada usaha yang dijalankan, serta tidak
mudah menyerah.
“Karena orang
menyerah itu orang yang kalah di awal, banyak berinteraksi dengan Tuhan,
dan perbanyak bersedakah. Rezeki akan datang unlimited. Lalu,
berjuanglah dengan kelucuan dan keluguan, karena dengan hal itu kita
bisa memperoleh keberuntungan dalam usaha,” tuturnya.
Jatuh Bangun Memulai Usaha
Dirinya yang
lulusan sarjana geografi ini memulai jerih payahnya dengan berjualan
ayam potong, celana gunung, batik, stiker. Semua dilakoninya sembari
berkeliling kampus dengan menjajakan dagangannya. Semasa kuliah, dia
sudah menjalankan bisnis serabutan. Ada delapan jenis usaha yang kala
itu ditanganinya, mulai dari berjualan ayam, celana gunung, dan
sebagainya.
“Saya mengimbau
ke teman-teman mahasiswa jadilah pengusaha sebelum diwisuda, karena
nanti ketika lulus akan siap langsung membuka usaha. Pak Dahlan Iskan
(menteri BUMN) pernah bilang ke saya, kamu sebagai mahasiswa segera
jalankan usaha, enggak apa-apa bangkrut sekarang, daripada nanti sudah
tua bangkrut, sembuhnya lama. Setiap orang punya jatah gagal, habiskan
jatah itu sekarang tinggal nanti berhasilnya,” ceritanya.
Sejak saat itu,
usai menamatkan kuliahnya dari UGM, ia mengaku ijazahnya disimpan
dengan rapih. kendati tidak digunakan karena dirinya sudah bertekad
ingin menjadi pengusaha. Sang ibu pun mendukung tekadnya tersebut. Dia
dan ibunya memberanikan diri meminjam uang untuk modal awal sebanyak
Rp20 juta. Namun, yang cair hanya Rp15 juta, mengingat tabungan yang
dimilikinya hanya Rp3 juta. Dia pun memberanikan diri menggadaikan surat
tanahnya kepada bank.
“Ibu
mengizinkan saya untuk meminjam uang di bank karena saya serius.
Mengingat bapak sudah lama meninggal sejak saya masih duduk di kelas 5
SD,” tuturnya.
Melihat
kondisinya yang sejak kecil telah menjadi anak yatim, yakni dari seorang
anak tentara dan memiliki ibu pedagang di pasar Lempuyangan di Yogya,
Saptu berniat agar ibunya dapat beristirahat dan dia memutuskan menjadi
pengusaha. Kini, Saptu sudah berkeluarga namun belum memiliki anak.
“Saya sedang menjalani proses untuk memperoleh anak,” tutupnya sambil
tersenyum.
- See more at: http://kisahsukses.info/kisah-sukses-saptuari-sugiharto-dengan-kaos-khas-jogja.html#sthash.Ggmn7fxa.dpuf
0 comments:
Post a Comment